MEDI(A)ESTHETIC at TONYRAKA ART GALLERY (2010)
G-Five adalah kelompok perupa muda asal Bali yang sama-sama menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, mereka merupakan salah satu kelompok perupa yang eksistensinya terwadahi dalam perkembangan seni rupa kontemporer. Keanggotaan dari G-Five antara lain; Upadana, Valasara, Gede Putra, Ardika, dan Legianta, adalah lima orang perupa muda yang sama-sama berasal dari daerah Gianyar Bali. Meskipun terbilang masih muda (emerging artists) masing-masing dari mereka telah cukup memiliki eksistensi dalam perhelatan seni rupa kontemporer dan sebetulnya tanpa berkelompok pun secara individu mereka tetap bisa eksis. Akan tetapi kuatnya ikatan sosial yang merupakan geneologi kebudayaan asali mereka (Bali), membawa mereka untuk maju bersama-sama dalam menapaki medan seni rupa kontemporer dalam konteks yang lebih luas.
Kebersamaan dalam kelompok tidak serta merta kemudian membuat mereka menseragamkan kecenderungan visual karya-karya mereka, kelompok dalam hal ini merupakan wadah untuk mempertemukan gagasan masing-masing yang berbeda-beda. Sehingga di dalam kelompok ini sesungguhnya individu-individu tersebut saling “mempertarungkan” ide dan gagasannya, perbedaan yang melekat sedari awal untuk selanjutnya menjadi kekuatan tersendiri, karena dapat menumbuhkan spirit untuk memacu persaingan positif dalam membuat capaian-capaian berkualitas. Meskipun secara kelompok mereka tidak membuat sebuah kesepakatan secara konsepsi yang kemudian dapat diusung bersama, dalam amatan penulis secara implisit tetap ada yang mengikat mereka selain kesamaan asal, dan kesamaan itu terletak pada eksplorasi media yang mereka lakoni dalam berkarya dan kedekatan dalam cara mengungkapkan gagasan.
Eksplorasi masing-masing dari mereka dalam hal media dilakoni sejak awal mulai merintis karir menjadi seniman, Upadana yang berasal dari disiplin seni patung memiliki ketertarikan pada eksplorasi dengan berbagai material seperti; kayu, besi, resin, dan juga eksplorasi media dua dimensi dalam perjalanan awal kreativitasnya dia bahkan beberapa kali membuat projek performance art. Berasal dari disiplin yang sama yaitu seni patung, Made Gede Putra memulai ketertarikannya pada ekplorasi yang menggabungkan dua material yang memiliki karakter berbeda seperti material batu dan kayu, dari eksplorasi media tersebut kemudian Gede Putra membangun rangkaian pemaknaan.
Sementara tiga peserta lainnya yang berasal dari disiplin seni lukis, juga memulai kreativitas mereka dengan menekuni ekpslorasi media tertentu. Legianta memilih tetap konsisten pada eksplorasi media dua dimensi dalam hal ini kanvas dengan memakai material cat paste merupakan campuran dari warna, serbuk khusus dan ditambah zat karet (ruber), dengan material tersebut ia membuat capaian-capaian teknik dan juga dalam hal tematik. Sementara Valasara mengeksplorasi media kanvas dia tak merasa cukup hanya melukis di kanvas, kain kanvas selanjutnya dia jahit untuk mendapatkan efek muncul (relief) dengan memakai lapisan spon (dacron) dapat disebut sebagai teknik emboss. Melalui eksplorasi awal tersebut dia mulai mengembangkan kecenderungan visualnya dan juga kontens dalam karya-karyanya. Ardika yang sedari awal hanya melukis dikanvas, dalam perkembangannya kemudian juga mulai meluaskan eksplorasinya pada media-media yang lain selain kanvas.
Secara metode, mereka mengawali kreativitas berkarya dengan mengeluti eksplorasi media yang pada awalnya lebih difokuskan pada pengusaan yang bersifat teknikal kemudian diikuti dengan melatih kepekaan dalam hal mengolah atau mengkomposisi unsur-unsur visual. Sederhananya kreativitas tersebut diarahkan pada capaian-capaian estetis, yang dapat dilihat pada pencapaian awal karya-karya mereka. Terutama pada Valasara yang cukup lama mengesplorasi garis dan efek optikal begitu juga Upadana dan Gede Putra, karya-karya awal mereka sarat dengan kecenderungan eksplorasi estetik yang mengarah pada formalisme. Dalam perjalanannya kemudian, mereka memutuskan tidak mau terjebak pada satu kencenderungan tertentu.
Perkembangan yang menarik dari kekaryaan mereka adalah keuletan mereka dalam bereksplorasi media dua dimensi dan tiga dimensi hingga menemukan cara ungkap mereka masing-masing yang khas. Dapat dilihat dalam karya Gede Putra yang memakai material spon matras disusun melingkar dan dikombinasikan dengan material kayu dan batu. Melalui penggabungan kedua material yang secara kasat hanya menampilkan komposisi tersebut, Gede Putra membangun narasi tentang sesuatu yang alami dan yang pabrikan, atau katakanlah antara yang natural dengan teknologi modern. Gede Putra membangun rangkaian relasi pemaknaan melalui eksplorasi media yang telah lama ia geluti, media dalam menjadi sebuah metafor yang merepresentasikan nilai-nilai yang kontradiktif dalam aspek kehidupan. Kontradiksi eksis dan menjadi aspek penting dalam kehidupan, dalam istilah Hindu Bali disebut rewa bhineda hitam-putih, baik-buruk dan sebagainya, sesuatu yang kontras yang dia tunjukkan juga melalui karyanya.
Upadana membuat bentuk pohon dengan memakai material resin bening di atas kanvas putih, adalah sebuah komposisi bidang dan warna yang di dalamnya juga disisipkan dengan narasi perihal penghayatannya pada tumbuhan atau alam. Upadana menggali kembali ketertarikannya pada sesuatu yang natural, dan yang melankolis melalui karyanya kali ini, ia mencoba melakukan penjelajahan pada pengalaman-pengalaman estetis yang dia rasakan ketika berhadapan dengan fenomena alam yang menggugah perasaannya. Membawanya pada penjelajahan dalam tataran rasa, pada titik-titik tertentu pengalaman-pengalaman tersebut begitu berkesan baginya, kemudian dia terjemahkan dengan metafor pohon. Sejenak penghayatan Upadana mengingatkan kembali pada kecenderungan Romantisisme, kecenderungan karya-karya Romantisisme umumnya mengetengahkan sedikitnya dua sisi; puitik dan tragedi dan mengedepankan pada penghayatan yang dapat menggugah perasaan. Seniman Romantis mengungkapkannya dengan mengetengahkan fragmen-fragmen kejadian alam seperti sunset yang dramatik, atau gunung meletus dengan kekuatan maha dasyat. Cara ungkap Upadana tidak dramatik, cenderung lebih dekat dengan puitik, seperti pohon putih di atas kanvas putih ditambah dengan barisan api.
Ardika menampilkan sosok Tweety dari ikon popular dengan sebuah benda yang berbalut daging, dua komposisi obyek tersebut tidak secara langsung membuat narasi pemaknaan. Ardika kembali menambahkan sebuah teks ‘see u in the next sickness’ lalu apa hubungannya dengan kedua objek tadi, obyek berbentuk setengah lingkaran berwarna coklat berbalut daging dalam hal ini dimaksudkan dengan konsumsi dan kemudian dipertegas dengan teks sampai jumpa pada penderitaan dalam dendangan si burung Twiti. Konsumsi dalam konteks yang lebih luas bisa dimaksudkan sebagai kecenderungan konsumerisme, dan budaya konsumer memang telah menjangkiti manusia kontemporer. Aktivitas konsumsi penuh dengan penjejalan pada kebutuhan-kebutuhan yang dikonstruksi, sebuah kesadaran yang semu dengan membangkitkan hasrat untuk mengkonsumsi walaupun sebenarnya tidak terlalu butuh. Managemen terhadap hasrat itu dikonstruksi melalui visual yang menggoda, dibumbuhi dengan janji-janji mengajak untuk mencoba suatu produk yang dijajakan. Ketika rangkaian kontruksi visual tersebut kemudian diganti penataannya untuk menyisipkan muatan kritis seperti dalam karya Ardika, sejenak auidens dibuat bertanya-tanya dan mungkin kebingungan mengenai makna yang dimaksudkan. Akan tetapi begitulah karya seni, kerap kali dibuat tidak langsung menunjuk pada makna yang dimaksud, sebelumnya dibuat agar audiens bertanya-tanya, berpikir sejenak, langkah selanjutnya bisa mengevaluasi fenomena yang tengah terjadi dan telah menjadi keseharian bahkan telah menghegemoni. Baudrillard menyatakannya sebagai simulacrum dan kita hidup di dalam kesadaran simulasi tersebut kenyataan-kenyataan yang telah terkonstruksi dan tanpa sadar kita larut dalam konstruksi tersebut.
Sementara Valasara yang membuat sosok Barong dengan teknik emboss berwarna putih di kanvas yang juga berwarna putih, karya ini memperlihatkan dua kecenderungan tematik; 1. demistifikasi Barong, yang sejatinya penuh dengan aura mistis, 2. sublimasi Barong yang meriah dengan hiasan ukiran dan warna-warna gemerlap, menjadikannya lebih bersahaja dan sublim. Demistifikasi yang dimaksud adalah fenomena yang terjadi pada budaya Bali dalam konteks perkembangan pariwisata, yang mana Barong telah menjadi ikon dalam jualan pariwisata budaya, Barong yang merupakan sosok dihormati disakralkan pada kenyataannya mengalami desakralisasi demi kepentingan industri pariwisata. Barong kemudian mewujud ke dalam dua realitas; realitas religi dan realitas kebudayaan. Dalam konteks kekaryaan Valasara yang dibuat lebih sederhana putih di atas putih sosok Barong di sublimasi dalam penghayatan pribadinya, mencari kembali esensi dari Barong itu sendiri. Valasara membersihkan kembali Barong dari realitas budaya yang jamak dijalani dalam realitas yang terdistorsi dan cenderung dipahami pada tataran permukaan semata, padalah ada nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sosok kreasi imajiner manusia Bali tersebut.
Sama hal nya juga pada Legianta yang sudah sejak lama menggeluti eksplorasi dengan teknik plototan warna kental yang disusun seperti efek jajan Sarad (jajan tradisional Bali yang dipakai sebagai sarana upakara/banten), melalui teknik itu dia membuat tokoh creature seperti tokoh hero dalam komik. Pada awalnya pencarian teknikal Legianta terlihat biasa-biasa saja, namun kemudian kekusyukannya pada eksplorasi media tersebut membuatnya menemukan ritme dari kinerja artistik berupa pengulangan-pengulangan garis yang monoton dan monokromatik. Bertolak dari situlah dia kemudian membangun kontens dalam karyanya, sebagai makhluk sosial yang mempunyai kesadaran terhadap fenomena sosial di sekitarnya. Lagi-lagi narasi visual yang diungkapkan tidak secara langung merujuk pada fenome tertentu, Legianta membungkusnya dengan memakai sosok creature mirip robot dengan hiasan ornamentik memerankan sulap (magic) hal ini ditandai oleh teks dengan tulisan ‘bim salabim, abra kadabra’. Dari konstruksi visual yang ditampilkan sepertinya Legianta sedang menurujuk pada femonema instans dalam budaya kontemporer, yang telah menjadi bagian dari realitas kehidupan masyarakat saat ini. Seperti itulah Legianta membangun relasi pemaknaan melalui konstruksi visual dalam karyanya, dan kecenderungan tersebut menjadi semacam kecenderungan bersama dalam kreativitas kekaryaan para eksponen dalam kelompok G-five.
Kekaryaan mereka secara umum memiliki intensi pada eksplorasi media untuk menampilkan nilai estetis, yaitu berupa kesadaran pada pengorganisasian aspek-aspek estetika. Melalui eksplorasi itulah kemudian mereka membangun narasi-narasi tentang persoalan diri, sosial, budaya, modernitas, globalisasi dan juga tradisi serta lainnya, dengan bahasa ungkap mereka masing-masing. Salah satunya dengan metafor, di dalamnya narasi tidak tampil secara linier atau secara urutan-uratan cerita yang jelas tetapi dengan menampilkan penggalan-penggalan yang berdiri sendiri. Ekplorasi kekaryaan mereka berkaitan dengan interpretasi dan pencerapan mereka terhadap tema atau persoalan yang diangkat untuk kemudian ditampilkan secara visual.
Bertolak dari eksplorasi media, mereka kemudian mengembangkan kreativitas masing-masing pada berbagai kecenderungan visual, mulai dari abstraksi, figuratif hingga realis, dengan tema dan kontens yang berbeda-beda. Dalam mengembangkan kecenderungan visual yang beragam tersebut mereka tetap memakai cara ungkap yang telah digeluti, sebuah eksplorasi yang pada awalnya yang lebih bersifat teknikal tersebut kemudian berkembang menjadi bahasa ungkap mereka masing-masing. Jika hal ini secara konsisten terus digeluti bahasa ungkap tersebut lambat laun akan mengalami kematangan dalam elaborasi masing-masing dan nantinya tentu dapat menumbuhkan kekhasan dan karekter pada karya-karya mereka.
Kekhasan karekter visual menjadi wacana penting dalam perkembangan seni rupa modern terangkum dalam semangat untuk membuat kebaruan, otentisitas dan orisinalitas dalam karya. Terakumulasi dalam capaian-capaian yang kemudian menjadi aliran atau isme-isme, seniman modern berlomba-lomba untuk menemukan kekhasan masing-masing. Dalam wilayah pemikiran pergerakan ini didasari oleh dialektika Hegelianisme (tesis, anti tesis, sintesis, dan tesis baru). Sebuah pencapaian awal disebut tesis di dalamnya pasti mengandung benih-benih kontradikif dari benih inilah kemudian direspon oleh pencarian lainnya sehingga menghasilkan antitesi dan pencarian ini kemudian bersintesis hingga melahirkan capaian baru atau tesis baru. Dialektika itulah yang terjadi dalam pergerakan isme-isme dalam seni modern, semakin lama akselerasinya semakin kencang dari impresionisme dan berujung pada formalisme atau abstrakisme yang melampaui ruang dan waktu.
Dalam era seni rupa kontemporer ini pencarian pada kekhasan tersebut mulai ditinggalkan, tergerus dengan kecenderungan anything goes, flatness, dan yang cukup mengejala kecenderungan apropriasi. Apropriasi sederhanannya adalah mengambil dari sesuatu dan mengolahnya menjadi sesuatu yang lain (dalam modernism sesuatu itu menjadi yang baru), dalam perkembangannya terutama postmodern apropriasi kemudian menjadi “copy – paste” 90% atau dengan sedikit pengolahan. Serta kecenderungan untuk melampaui teknik dengan alih-alih mengedepankan konsep namun bukan konseptual art. Berbagai kedencerungan tersebut saling bertarung “melegalkan” diri dengan nilai masing-masing, merespon keruntuhan nilai-nilai yang dulunya berlaku absolut.
Dialektika model Hegelian sudah ditinggalkan, akan tetapi menurut penulis tidak berarti semua nilai yang dilahirkan oleh dialektika tersebut kemudian harus sepenuhnya ditinggalkan, bagaimanapun kekhasan tersebut tetap menjadi suatu nilai penting sebuah karya seni. Meskipun Brillo Box (1995)-nya Warhol tidak ada bedanya dengan box sebenarnya dan kemudian Arthur Danto tergugah untuk membuat tesis the end of the art, sedikit tidaknya dia tetap memiliki kekhasan karena untuk pertama kalinya dijadikan karya sehingga kemudian disepakati oleh medan seni sebagai karya seni yang bernilai. Memang kekhasaannya bukan pada capaian yang bersifat teknikal, tapi lebih pada gagasannya.
Kekhasan atau dalam istilah modernnya otentisitas dan orisinalitas merupakan warisan nilai yang tidak harus ditolak apalagi dibuang, kedua hal tersebut tetap bisa menjadi nilai bagi kreativitas seniman untuk mendukung capaian-capaian dalam kekaryaannya. Fenomena keterbukaan (a zone of freedom) seperti sekarang ini dimana berbagai nilai sacara bebas bertarung dalam mengejar eksistensi, sehingga nilai mengandung relatifivitas yang tinggi. Perkembangan yang terbuka ini kadang juga membuat seniman kebingungan dan mengalami disorientasi. Untuk hal itu nilai-nilai dasar seperti capaian teknis dan nilai estetik atau hal-hal teknis dalam seni dapat mengasah sensibilitas (sensibility of art) (disebut nilai tekstual selain nilai kontekstual), merupakan sebuah pijakan awal yang dapat mengantarkan kreativitas seniman ke gerbang yang lebih luas dan terbuka.
Kurator I Wayan Seriyoga Parta
Kebersamaan dalam kelompok tidak serta merta kemudian membuat mereka menseragamkan kecenderungan visual karya-karya mereka, kelompok dalam hal ini merupakan wadah untuk mempertemukan gagasan masing-masing yang berbeda-beda. Sehingga di dalam kelompok ini sesungguhnya individu-individu tersebut saling “mempertarungkan” ide dan gagasannya, perbedaan yang melekat sedari awal untuk selanjutnya menjadi kekuatan tersendiri, karena dapat menumbuhkan spirit untuk memacu persaingan positif dalam membuat capaian-capaian berkualitas. Meskipun secara kelompok mereka tidak membuat sebuah kesepakatan secara konsepsi yang kemudian dapat diusung bersama, dalam amatan penulis secara implisit tetap ada yang mengikat mereka selain kesamaan asal, dan kesamaan itu terletak pada eksplorasi media yang mereka lakoni dalam berkarya dan kedekatan dalam cara mengungkapkan gagasan.
Eksplorasi masing-masing dari mereka dalam hal media dilakoni sejak awal mulai merintis karir menjadi seniman, Upadana yang berasal dari disiplin seni patung memiliki ketertarikan pada eksplorasi dengan berbagai material seperti; kayu, besi, resin, dan juga eksplorasi media dua dimensi dalam perjalanan awal kreativitasnya dia bahkan beberapa kali membuat projek performance art. Berasal dari disiplin yang sama yaitu seni patung, Made Gede Putra memulai ketertarikannya pada ekplorasi yang menggabungkan dua material yang memiliki karakter berbeda seperti material batu dan kayu, dari eksplorasi media tersebut kemudian Gede Putra membangun rangkaian pemaknaan.
Sementara tiga peserta lainnya yang berasal dari disiplin seni lukis, juga memulai kreativitas mereka dengan menekuni ekpslorasi media tertentu. Legianta memilih tetap konsisten pada eksplorasi media dua dimensi dalam hal ini kanvas dengan memakai material cat paste merupakan campuran dari warna, serbuk khusus dan ditambah zat karet (ruber), dengan material tersebut ia membuat capaian-capaian teknik dan juga dalam hal tematik. Sementara Valasara mengeksplorasi media kanvas dia tak merasa cukup hanya melukis di kanvas, kain kanvas selanjutnya dia jahit untuk mendapatkan efek muncul (relief) dengan memakai lapisan spon (dacron) dapat disebut sebagai teknik emboss. Melalui eksplorasi awal tersebut dia mulai mengembangkan kecenderungan visualnya dan juga kontens dalam karya-karyanya. Ardika yang sedari awal hanya melukis dikanvas, dalam perkembangannya kemudian juga mulai meluaskan eksplorasinya pada media-media yang lain selain kanvas.
Secara metode, mereka mengawali kreativitas berkarya dengan mengeluti eksplorasi media yang pada awalnya lebih difokuskan pada pengusaan yang bersifat teknikal kemudian diikuti dengan melatih kepekaan dalam hal mengolah atau mengkomposisi unsur-unsur visual. Sederhananya kreativitas tersebut diarahkan pada capaian-capaian estetis, yang dapat dilihat pada pencapaian awal karya-karya mereka. Terutama pada Valasara yang cukup lama mengesplorasi garis dan efek optikal begitu juga Upadana dan Gede Putra, karya-karya awal mereka sarat dengan kecenderungan eksplorasi estetik yang mengarah pada formalisme. Dalam perjalanannya kemudian, mereka memutuskan tidak mau terjebak pada satu kencenderungan tertentu.
Perkembangan yang menarik dari kekaryaan mereka adalah keuletan mereka dalam bereksplorasi media dua dimensi dan tiga dimensi hingga menemukan cara ungkap mereka masing-masing yang khas. Dapat dilihat dalam karya Gede Putra yang memakai material spon matras disusun melingkar dan dikombinasikan dengan material kayu dan batu. Melalui penggabungan kedua material yang secara kasat hanya menampilkan komposisi tersebut, Gede Putra membangun narasi tentang sesuatu yang alami dan yang pabrikan, atau katakanlah antara yang natural dengan teknologi modern. Gede Putra membangun rangkaian relasi pemaknaan melalui eksplorasi media yang telah lama ia geluti, media dalam menjadi sebuah metafor yang merepresentasikan nilai-nilai yang kontradiktif dalam aspek kehidupan. Kontradiksi eksis dan menjadi aspek penting dalam kehidupan, dalam istilah Hindu Bali disebut rewa bhineda hitam-putih, baik-buruk dan sebagainya, sesuatu yang kontras yang dia tunjukkan juga melalui karyanya.
Upadana membuat bentuk pohon dengan memakai material resin bening di atas kanvas putih, adalah sebuah komposisi bidang dan warna yang di dalamnya juga disisipkan dengan narasi perihal penghayatannya pada tumbuhan atau alam. Upadana menggali kembali ketertarikannya pada sesuatu yang natural, dan yang melankolis melalui karyanya kali ini, ia mencoba melakukan penjelajahan pada pengalaman-pengalaman estetis yang dia rasakan ketika berhadapan dengan fenomena alam yang menggugah perasaannya. Membawanya pada penjelajahan dalam tataran rasa, pada titik-titik tertentu pengalaman-pengalaman tersebut begitu berkesan baginya, kemudian dia terjemahkan dengan metafor pohon. Sejenak penghayatan Upadana mengingatkan kembali pada kecenderungan Romantisisme, kecenderungan karya-karya Romantisisme umumnya mengetengahkan sedikitnya dua sisi; puitik dan tragedi dan mengedepankan pada penghayatan yang dapat menggugah perasaan. Seniman Romantis mengungkapkannya dengan mengetengahkan fragmen-fragmen kejadian alam seperti sunset yang dramatik, atau gunung meletus dengan kekuatan maha dasyat. Cara ungkap Upadana tidak dramatik, cenderung lebih dekat dengan puitik, seperti pohon putih di atas kanvas putih ditambah dengan barisan api.
Ardika menampilkan sosok Tweety dari ikon popular dengan sebuah benda yang berbalut daging, dua komposisi obyek tersebut tidak secara langsung membuat narasi pemaknaan. Ardika kembali menambahkan sebuah teks ‘see u in the next sickness’ lalu apa hubungannya dengan kedua objek tadi, obyek berbentuk setengah lingkaran berwarna coklat berbalut daging dalam hal ini dimaksudkan dengan konsumsi dan kemudian dipertegas dengan teks sampai jumpa pada penderitaan dalam dendangan si burung Twiti. Konsumsi dalam konteks yang lebih luas bisa dimaksudkan sebagai kecenderungan konsumerisme, dan budaya konsumer memang telah menjangkiti manusia kontemporer. Aktivitas konsumsi penuh dengan penjejalan pada kebutuhan-kebutuhan yang dikonstruksi, sebuah kesadaran yang semu dengan membangkitkan hasrat untuk mengkonsumsi walaupun sebenarnya tidak terlalu butuh. Managemen terhadap hasrat itu dikonstruksi melalui visual yang menggoda, dibumbuhi dengan janji-janji mengajak untuk mencoba suatu produk yang dijajakan. Ketika rangkaian kontruksi visual tersebut kemudian diganti penataannya untuk menyisipkan muatan kritis seperti dalam karya Ardika, sejenak auidens dibuat bertanya-tanya dan mungkin kebingungan mengenai makna yang dimaksudkan. Akan tetapi begitulah karya seni, kerap kali dibuat tidak langsung menunjuk pada makna yang dimaksud, sebelumnya dibuat agar audiens bertanya-tanya, berpikir sejenak, langkah selanjutnya bisa mengevaluasi fenomena yang tengah terjadi dan telah menjadi keseharian bahkan telah menghegemoni. Baudrillard menyatakannya sebagai simulacrum dan kita hidup di dalam kesadaran simulasi tersebut kenyataan-kenyataan yang telah terkonstruksi dan tanpa sadar kita larut dalam konstruksi tersebut.
Sementara Valasara yang membuat sosok Barong dengan teknik emboss berwarna putih di kanvas yang juga berwarna putih, karya ini memperlihatkan dua kecenderungan tematik; 1. demistifikasi Barong, yang sejatinya penuh dengan aura mistis, 2. sublimasi Barong yang meriah dengan hiasan ukiran dan warna-warna gemerlap, menjadikannya lebih bersahaja dan sublim. Demistifikasi yang dimaksud adalah fenomena yang terjadi pada budaya Bali dalam konteks perkembangan pariwisata, yang mana Barong telah menjadi ikon dalam jualan pariwisata budaya, Barong yang merupakan sosok dihormati disakralkan pada kenyataannya mengalami desakralisasi demi kepentingan industri pariwisata. Barong kemudian mewujud ke dalam dua realitas; realitas religi dan realitas kebudayaan. Dalam konteks kekaryaan Valasara yang dibuat lebih sederhana putih di atas putih sosok Barong di sublimasi dalam penghayatan pribadinya, mencari kembali esensi dari Barong itu sendiri. Valasara membersihkan kembali Barong dari realitas budaya yang jamak dijalani dalam realitas yang terdistorsi dan cenderung dipahami pada tataran permukaan semata, padalah ada nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sosok kreasi imajiner manusia Bali tersebut.
Sama hal nya juga pada Legianta yang sudah sejak lama menggeluti eksplorasi dengan teknik plototan warna kental yang disusun seperti efek jajan Sarad (jajan tradisional Bali yang dipakai sebagai sarana upakara/banten), melalui teknik itu dia membuat tokoh creature seperti tokoh hero dalam komik. Pada awalnya pencarian teknikal Legianta terlihat biasa-biasa saja, namun kemudian kekusyukannya pada eksplorasi media tersebut membuatnya menemukan ritme dari kinerja artistik berupa pengulangan-pengulangan garis yang monoton dan monokromatik. Bertolak dari situlah dia kemudian membangun kontens dalam karyanya, sebagai makhluk sosial yang mempunyai kesadaran terhadap fenomena sosial di sekitarnya. Lagi-lagi narasi visual yang diungkapkan tidak secara langung merujuk pada fenome tertentu, Legianta membungkusnya dengan memakai sosok creature mirip robot dengan hiasan ornamentik memerankan sulap (magic) hal ini ditandai oleh teks dengan tulisan ‘bim salabim, abra kadabra’. Dari konstruksi visual yang ditampilkan sepertinya Legianta sedang menurujuk pada femonema instans dalam budaya kontemporer, yang telah menjadi bagian dari realitas kehidupan masyarakat saat ini. Seperti itulah Legianta membangun relasi pemaknaan melalui konstruksi visual dalam karyanya, dan kecenderungan tersebut menjadi semacam kecenderungan bersama dalam kreativitas kekaryaan para eksponen dalam kelompok G-five.
Kekaryaan mereka secara umum memiliki intensi pada eksplorasi media untuk menampilkan nilai estetis, yaitu berupa kesadaran pada pengorganisasian aspek-aspek estetika. Melalui eksplorasi itulah kemudian mereka membangun narasi-narasi tentang persoalan diri, sosial, budaya, modernitas, globalisasi dan juga tradisi serta lainnya, dengan bahasa ungkap mereka masing-masing. Salah satunya dengan metafor, di dalamnya narasi tidak tampil secara linier atau secara urutan-uratan cerita yang jelas tetapi dengan menampilkan penggalan-penggalan yang berdiri sendiri. Ekplorasi kekaryaan mereka berkaitan dengan interpretasi dan pencerapan mereka terhadap tema atau persoalan yang diangkat untuk kemudian ditampilkan secara visual.
Bertolak dari eksplorasi media, mereka kemudian mengembangkan kreativitas masing-masing pada berbagai kecenderungan visual, mulai dari abstraksi, figuratif hingga realis, dengan tema dan kontens yang berbeda-beda. Dalam mengembangkan kecenderungan visual yang beragam tersebut mereka tetap memakai cara ungkap yang telah digeluti, sebuah eksplorasi yang pada awalnya yang lebih bersifat teknikal tersebut kemudian berkembang menjadi bahasa ungkap mereka masing-masing. Jika hal ini secara konsisten terus digeluti bahasa ungkap tersebut lambat laun akan mengalami kematangan dalam elaborasi masing-masing dan nantinya tentu dapat menumbuhkan kekhasan dan karekter pada karya-karya mereka.
Kekhasan karekter visual menjadi wacana penting dalam perkembangan seni rupa modern terangkum dalam semangat untuk membuat kebaruan, otentisitas dan orisinalitas dalam karya. Terakumulasi dalam capaian-capaian yang kemudian menjadi aliran atau isme-isme, seniman modern berlomba-lomba untuk menemukan kekhasan masing-masing. Dalam wilayah pemikiran pergerakan ini didasari oleh dialektika Hegelianisme (tesis, anti tesis, sintesis, dan tesis baru). Sebuah pencapaian awal disebut tesis di dalamnya pasti mengandung benih-benih kontradikif dari benih inilah kemudian direspon oleh pencarian lainnya sehingga menghasilkan antitesi dan pencarian ini kemudian bersintesis hingga melahirkan capaian baru atau tesis baru. Dialektika itulah yang terjadi dalam pergerakan isme-isme dalam seni modern, semakin lama akselerasinya semakin kencang dari impresionisme dan berujung pada formalisme atau abstrakisme yang melampaui ruang dan waktu.
Dalam era seni rupa kontemporer ini pencarian pada kekhasan tersebut mulai ditinggalkan, tergerus dengan kecenderungan anything goes, flatness, dan yang cukup mengejala kecenderungan apropriasi. Apropriasi sederhanannya adalah mengambil dari sesuatu dan mengolahnya menjadi sesuatu yang lain (dalam modernism sesuatu itu menjadi yang baru), dalam perkembangannya terutama postmodern apropriasi kemudian menjadi “copy – paste” 90% atau dengan sedikit pengolahan. Serta kecenderungan untuk melampaui teknik dengan alih-alih mengedepankan konsep namun bukan konseptual art. Berbagai kedencerungan tersebut saling bertarung “melegalkan” diri dengan nilai masing-masing, merespon keruntuhan nilai-nilai yang dulunya berlaku absolut.
Dialektika model Hegelian sudah ditinggalkan, akan tetapi menurut penulis tidak berarti semua nilai yang dilahirkan oleh dialektika tersebut kemudian harus sepenuhnya ditinggalkan, bagaimanapun kekhasan tersebut tetap menjadi suatu nilai penting sebuah karya seni. Meskipun Brillo Box (1995)-nya Warhol tidak ada bedanya dengan box sebenarnya dan kemudian Arthur Danto tergugah untuk membuat tesis the end of the art, sedikit tidaknya dia tetap memiliki kekhasan karena untuk pertama kalinya dijadikan karya sehingga kemudian disepakati oleh medan seni sebagai karya seni yang bernilai. Memang kekhasaannya bukan pada capaian yang bersifat teknikal, tapi lebih pada gagasannya.
Kekhasan atau dalam istilah modernnya otentisitas dan orisinalitas merupakan warisan nilai yang tidak harus ditolak apalagi dibuang, kedua hal tersebut tetap bisa menjadi nilai bagi kreativitas seniman untuk mendukung capaian-capaian dalam kekaryaannya. Fenomena keterbukaan (a zone of freedom) seperti sekarang ini dimana berbagai nilai sacara bebas bertarung dalam mengejar eksistensi, sehingga nilai mengandung relatifivitas yang tinggi. Perkembangan yang terbuka ini kadang juga membuat seniman kebingungan dan mengalami disorientasi. Untuk hal itu nilai-nilai dasar seperti capaian teknis dan nilai estetik atau hal-hal teknis dalam seni dapat mengasah sensibilitas (sensibility of art) (disebut nilai tekstual selain nilai kontekstual), merupakan sebuah pijakan awal yang dapat mengantarkan kreativitas seniman ke gerbang yang lebih luas dan terbuka.
Kurator I Wayan Seriyoga Parta