PRESS RELEASE
PLASTIC ATTACK oleh Kelompok G-FIVE
Pembukaan : Minggu, 13 Oktober 2013, Pukul 18.30 Wita
Tempat : Tonyraka Art Gallery, Jl Raya Mas 86, Mas, Ubud,Bali
Informasi: [email protected] / +6281931734384 (Ruth Onduko)
Bermain-main dengan media merupakan salah satu karakter kelompok G-Five dalam eksekusi visual karyanya. Kelima seniman muda yang membentuk kelompok G-Five sejak 2009 ini terdiri dari I Wayan Legianta, I Wayan Upadana, Kadek A. Ardika, Made Gede Putra dan Made Wiguna Valasara. Dalam kelompok ini mereka kerap mengemukakan eksplorasi media dalam pameran-pameran yang mereka gagas. Tiga pameran sebelumnya mereka asyik bermain-main dengan media seperti rubber, spon, benang, kayu, resin, dacron dan benda-benda ready made dalam eksekusi visualnya. Pada pameran ketiga Black Box tahun lalu, mereka mengusung isi studio seniman ke dalam ruang pamer.
Kali keempat ini, G-Five tergelitik untuk bermain-main dengan media yang baru lagi. G-Five mencoba menghadirkan plastik sebagai media dalam konsep dan perwujudan karya. Ini merupakan tantangan baru yang diluar kebiasaan G-Five dalam karya-karya sebelumnya. Pameran dengan material plastik ini mereka usung dengan judul PLASTIC ATTACK. Disini, kelima personel G-Five mencoba melihat dan memperlakukan plastik sebagai media baru, menemukan kemungkinan baru, dan membentuk wacana kreatif baru di dalam proses berkarya mereka sebagai seniman, dan memancing wacana kreatif di dunia seni rupa yang lebih luas.
G-five menyadari, bahwa dengan memilih materi plastik bekas / sampah plastik, akan banyak asumsi yang muncul terutama dikaitkan dengan konteks saat ini yang beredar seputar isu-isu lingkungan. Memang tidak dapat dipungkiri muatan kontekstual yang akhir-akhir ini gencar diwacanakan di media, di masyarakat, dan bahkan di antara beberapa seniman sendiri,tentang bagaimana ancaman penggunaan plastik yang berujung pada sampah plastik yang tak dapat terurai dan merusak lingkungan. Masalah ini pun semakin menumpuk dan makin banyak yang mencoba menyuarakan kampanye pengurangan penggunaan plastik dalam praktik kehidupan sehari-hari. Namun, posisi G-five disini bukanlah sebagai seniman aktivis lingkungan. Pemilihan media sampah plastik ini berawal dari temuan sehari-hari yang dialami setiap manusia. Disinilah titik mula proses kreatif G-Five yaitu melakukan sesuatu yang berawal dari hal sederhana, mengeksplorasi media sampah plastik, mengolahnya, memberinya makna yang lebih, menjadikannya artistik, menggugah pengalaman dan kenangan.
Pameran Plastic Attack diadakan di Tonyraka Art Gallery, dan ini merupakan kali kedua G-Five bekerjasama dengan Tonyraka Art Gallery. Wayan Seriyoga Parta yang sebelumnya pernah bekerjasama dengan G-five dalam pameran MEDI(A)ESTHETIC tahun 2010 kali ini menjadi observer dalam proses berkarya. Ia memberikan pandangannya dalam tulisan yang ia susun sebagai pendukung teks dalam pameran PLASTIC ATTACK. Pameran PLASTIC ATTACK akan berlangsung dari 13 Oktober hingga 5 November 2013 di Tonyraka Art Gallery, Jl. Raya Mas 86, Mas-Ubud, Bali. Waktu operasional galeri adalah setiap hari dari pukul 10.00 – 17.00 wita.
PLASTIC ATTACK oleh Kelompok G-FIVE
Pembukaan : Minggu, 13 Oktober 2013, Pukul 18.30 Wita
Tempat : Tonyraka Art Gallery, Jl Raya Mas 86, Mas, Ubud,Bali
Informasi: [email protected] / +6281931734384 (Ruth Onduko)
Bermain-main dengan media merupakan salah satu karakter kelompok G-Five dalam eksekusi visual karyanya. Kelima seniman muda yang membentuk kelompok G-Five sejak 2009 ini terdiri dari I Wayan Legianta, I Wayan Upadana, Kadek A. Ardika, Made Gede Putra dan Made Wiguna Valasara. Dalam kelompok ini mereka kerap mengemukakan eksplorasi media dalam pameran-pameran yang mereka gagas. Tiga pameran sebelumnya mereka asyik bermain-main dengan media seperti rubber, spon, benang, kayu, resin, dacron dan benda-benda ready made dalam eksekusi visualnya. Pada pameran ketiga Black Box tahun lalu, mereka mengusung isi studio seniman ke dalam ruang pamer.
Kali keempat ini, G-Five tergelitik untuk bermain-main dengan media yang baru lagi. G-Five mencoba menghadirkan plastik sebagai media dalam konsep dan perwujudan karya. Ini merupakan tantangan baru yang diluar kebiasaan G-Five dalam karya-karya sebelumnya. Pameran dengan material plastik ini mereka usung dengan judul PLASTIC ATTACK. Disini, kelima personel G-Five mencoba melihat dan memperlakukan plastik sebagai media baru, menemukan kemungkinan baru, dan membentuk wacana kreatif baru di dalam proses berkarya mereka sebagai seniman, dan memancing wacana kreatif di dunia seni rupa yang lebih luas.
G-five menyadari, bahwa dengan memilih materi plastik bekas / sampah plastik, akan banyak asumsi yang muncul terutama dikaitkan dengan konteks saat ini yang beredar seputar isu-isu lingkungan. Memang tidak dapat dipungkiri muatan kontekstual yang akhir-akhir ini gencar diwacanakan di media, di masyarakat, dan bahkan di antara beberapa seniman sendiri,tentang bagaimana ancaman penggunaan plastik yang berujung pada sampah plastik yang tak dapat terurai dan merusak lingkungan. Masalah ini pun semakin menumpuk dan makin banyak yang mencoba menyuarakan kampanye pengurangan penggunaan plastik dalam praktik kehidupan sehari-hari. Namun, posisi G-five disini bukanlah sebagai seniman aktivis lingkungan. Pemilihan media sampah plastik ini berawal dari temuan sehari-hari yang dialami setiap manusia. Disinilah titik mula proses kreatif G-Five yaitu melakukan sesuatu yang berawal dari hal sederhana, mengeksplorasi media sampah plastik, mengolahnya, memberinya makna yang lebih, menjadikannya artistik, menggugah pengalaman dan kenangan.
Pameran Plastic Attack diadakan di Tonyraka Art Gallery, dan ini merupakan kali kedua G-Five bekerjasama dengan Tonyraka Art Gallery. Wayan Seriyoga Parta yang sebelumnya pernah bekerjasama dengan G-five dalam pameran MEDI(A)ESTHETIC tahun 2010 kali ini menjadi observer dalam proses berkarya. Ia memberikan pandangannya dalam tulisan yang ia susun sebagai pendukung teks dalam pameran PLASTIC ATTACK. Pameran PLASTIC ATTACK akan berlangsung dari 13 Oktober hingga 5 November 2013 di Tonyraka Art Gallery, Jl. Raya Mas 86, Mas-Ubud, Bali. Waktu operasional galeri adalah setiap hari dari pukul 10.00 – 17.00 wita.
Plastic Attack
Oleh : Wayan Seriyoga Parta
Karya seni (rupa) tidak hanya menyajikan keindahan, tapi juga menghadirkan refleksi dan tanggapan. Sadar atau tidak kita sudah terbiasa dengan yang disebut karya seni (rupa). Dalam persepsi umum setidaknya ada dua kategori untuk karya seni (rupa); pertama merujuk pada benda yang menampilkan keindahan. Kedua benda atau fenomena yang menunjukkan keanehan, aneh karena terlihat unik, tak biasa atau luar biasa, atau aneh karena terlalu biasa dan kerap dijumpai di sekitar. Karya seni (rupa), dalam perkembangannya memang tidak hanya menampilkan keindahan visual semata yang dicerap seniman dari keindahan dunia. Karya seni (rupa) juga menjadi kanon bagi seniman untuk bereaksi pada situasi dan kondisi dunia, konteks dunia mirko maupun dunia makro. Seni sebagai reaksi atas fenomena dunia, terkadang tidak lagi menampilkan fenomena visual yang nyaman dilihat, kerap kali justru menghadirkan ketaknyamanan.
Hal itu terjadi karena pada konteks ini karya seni (rupa) sudah menjadi medium bagi seniman untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Banyak contoh kasus yang menunjukkan fenomena itu. Salah satunya yang fenomenal di dunia seni rupa adalah ketika Marcel Duchamp memamerkan urionir (tempat kecing) pada sebuah pameran. Karya seni (rupa) kini sudah tidak lagi hanya menghadirkan keindahan, ia telah menjelma menjadi medium refleksi, medium katarsis, bahkan medium bagi kritisisme. Meluasnya praksis seni rupa memunculkan pertanyaan; lalu bagaimana sebuah benda atau fenomena itu dapat disebut karya seni rupa?
Sebuah benda fenomena visual dimaknai atau dikategori sebagai karya seni (rupa) disebabkan ada sebuah konvensi terhadapnya, konvensi itu menyangkut kondisi-kondisi tertentu. Bahwa benda atau fenomena itu dikondisikan dalam sebuah ruang pameran, ruang itu dapat berupa gedung (bangunan) dan juga ruang terbuka. Selanjutnya ada otoritas yang mentasbihkannya sebagai karya seni (rupa), otoritas yang pertama ada ditangan seniman, selanjutnya para pelaku dalam medan sosial (seni) itu sendiri. Pembahasan perihal seputaran otoritas dalam karya seni (rupa) ini memang selalu akan memunculkan perdebatan, sepertinya akan selalu menjadi problematika pada tubuh seni rupa sendiri. Telah dimulai sejak berabad-abad lalu, ketika Sokrates mulai membahasa perihal keindahan yang kemudian melahirkan filsafat seni (estetika).
Pembahasan awal ini tidak bermaksud hanya untuk berwacana, ada relasi erat kaitannya dengan fenomena seni rupa yang dihadirkan oleh kelompok G-Five di Tonyraka Art Gallery saat ini. Mereka adalah sekumpulan perupa muda yang penuh semangat untuk terus berkutat dengan ide, pemikiran dan juga perasaan yang tengah dialami sebagai orang muda yang enerjik. Project kali ini G-Five mengangkat media plastik sebagai media dan juga medium representasi ide-ide kreatif mereka. Plastik yang telah lahir dalam berbagai macam representasi dalam realitas kehidupan kita kini, dieksplorasi menjadi karya seni rupa.
Media plastik dalam olahan tangan kreatif mereka ternyata tidak menghadirkan fenomena keindahan, justru sebaliknya menghadirkan keanehan-keanehan. Aneh karena justru terlihat biasa. Mereka menghadirkan tumpukan sampah plastik yang dibungkus kemasan plastik hitam memenuhi ruang pamer, sebagaimana halnya biasa kita lihat bungkusan sampah. Dalam karya yang lain, ada bola plastik transparan yang kembang kempis juga memenuhi ruangan serasa mau menekan ruang itu hingga meledak. Terdapat juga bongkahan sampah plastik yang telah tertimbun dalam tanah disajikan dalam kotak kaca. Karya ini cukup unik karena plastik yang telah menjadi sampah dan tertimbun itu sebelumnya berfungsi sebagai kemasan, kini justru mereka kemas kembali dalam kotak kaca berpustek sebagaimana halnya karya patung. Kemasan yang dikemas kembali.
Selain itu ada juga sobekan jaring plastik yang didapat dari laut, pecahan kursi plastik, selang plastik, mobil-mainan yang mereka komposisikan pada dinding menbentuk teks “MYTH”. Plastik dalam persepsi mereka ternyata bukan hanya realitas material (bendawi) selayaknya sering dilihat, dalam realitas kini plastik menurut mereka telah menjadi mitos. Mitos tentang berbagai hal, tentang kebersihan (hygienist), mitos tentang sensasi sebuah produk (image branding). Mitos tentang kehancuran alam dan bumi karena sampah plastik yang sudah menjadi teman hidup manusia, diolah dari bahan alam (tambang) kini justru menjadi ancaman serius bagi alam dan ekosistem kehidupan di bumi. Plastik sebuah keajabian dan sekaligus petaka.
Setidaknya itulah persepsi yang penulis dapat rasakan dan sampaikan dari kehadiran plastik-plastik yang biasa dari karya G-five pada pameran ini. Karya-karya plastik tersebut, serasa mengajak untuk memikirkan kembali perihal apa yang terlihat biasa, mengingat kembali memori-memori yang berkaitan tentang media itu, merasakan kembali berbagai hal dan persoalan yang menyelimutinya. Bisa jadi karena sebuah fenomena terlihat biasa-biasa kita sering abai terhadapnya dan implikasinya dalam kehidupan dan juga kesadaran kita, seperti halnya fenomena plastik.
Rasanya G-five sangat sadar akan hal ini, sehingga membuat mereka memutuskan merepresentasikan realitas plastik secara biasa-biasa, sembari menyisipkan pesan di dalamnya. Berupa sebuah ajakan untuk memberi ruang pada kesadaran itu merefleksi persoalan-persoalan yang menyelimuti realitas kehidupan kita bersama the amazing thing yaitu plastik. Teman yang selalu mengiringi keseharian kita, mengemas berbagai hal yang kita konsumsi sehingga hygienist, dan menampung berbagai macam sampah yang kita hasilkan dan pada akhirnya ia sendiri menjadi sampah yang mengancam kita.
Sanggulan, Oktober 2013
* Penulis adalah peneliti Utama pada Gurat Institut, sebuah lembaga independen yang konsen meneliti Seni Rupa Bali. Menulis dalam buku Arie Smit a Living Legend tahun 2011, Salvation of the Soul Nyoman Erawan tahun 2012
Oleh : Wayan Seriyoga Parta
Karya seni (rupa) tidak hanya menyajikan keindahan, tapi juga menghadirkan refleksi dan tanggapan. Sadar atau tidak kita sudah terbiasa dengan yang disebut karya seni (rupa). Dalam persepsi umum setidaknya ada dua kategori untuk karya seni (rupa); pertama merujuk pada benda yang menampilkan keindahan. Kedua benda atau fenomena yang menunjukkan keanehan, aneh karena terlihat unik, tak biasa atau luar biasa, atau aneh karena terlalu biasa dan kerap dijumpai di sekitar. Karya seni (rupa), dalam perkembangannya memang tidak hanya menampilkan keindahan visual semata yang dicerap seniman dari keindahan dunia. Karya seni (rupa) juga menjadi kanon bagi seniman untuk bereaksi pada situasi dan kondisi dunia, konteks dunia mirko maupun dunia makro. Seni sebagai reaksi atas fenomena dunia, terkadang tidak lagi menampilkan fenomena visual yang nyaman dilihat, kerap kali justru menghadirkan ketaknyamanan.
Hal itu terjadi karena pada konteks ini karya seni (rupa) sudah menjadi medium bagi seniman untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Banyak contoh kasus yang menunjukkan fenomena itu. Salah satunya yang fenomenal di dunia seni rupa adalah ketika Marcel Duchamp memamerkan urionir (tempat kecing) pada sebuah pameran. Karya seni (rupa) kini sudah tidak lagi hanya menghadirkan keindahan, ia telah menjelma menjadi medium refleksi, medium katarsis, bahkan medium bagi kritisisme. Meluasnya praksis seni rupa memunculkan pertanyaan; lalu bagaimana sebuah benda atau fenomena itu dapat disebut karya seni rupa?
Sebuah benda fenomena visual dimaknai atau dikategori sebagai karya seni (rupa) disebabkan ada sebuah konvensi terhadapnya, konvensi itu menyangkut kondisi-kondisi tertentu. Bahwa benda atau fenomena itu dikondisikan dalam sebuah ruang pameran, ruang itu dapat berupa gedung (bangunan) dan juga ruang terbuka. Selanjutnya ada otoritas yang mentasbihkannya sebagai karya seni (rupa), otoritas yang pertama ada ditangan seniman, selanjutnya para pelaku dalam medan sosial (seni) itu sendiri. Pembahasan perihal seputaran otoritas dalam karya seni (rupa) ini memang selalu akan memunculkan perdebatan, sepertinya akan selalu menjadi problematika pada tubuh seni rupa sendiri. Telah dimulai sejak berabad-abad lalu, ketika Sokrates mulai membahasa perihal keindahan yang kemudian melahirkan filsafat seni (estetika).
Pembahasan awal ini tidak bermaksud hanya untuk berwacana, ada relasi erat kaitannya dengan fenomena seni rupa yang dihadirkan oleh kelompok G-Five di Tonyraka Art Gallery saat ini. Mereka adalah sekumpulan perupa muda yang penuh semangat untuk terus berkutat dengan ide, pemikiran dan juga perasaan yang tengah dialami sebagai orang muda yang enerjik. Project kali ini G-Five mengangkat media plastik sebagai media dan juga medium representasi ide-ide kreatif mereka. Plastik yang telah lahir dalam berbagai macam representasi dalam realitas kehidupan kita kini, dieksplorasi menjadi karya seni rupa.
Media plastik dalam olahan tangan kreatif mereka ternyata tidak menghadirkan fenomena keindahan, justru sebaliknya menghadirkan keanehan-keanehan. Aneh karena justru terlihat biasa. Mereka menghadirkan tumpukan sampah plastik yang dibungkus kemasan plastik hitam memenuhi ruang pamer, sebagaimana halnya biasa kita lihat bungkusan sampah. Dalam karya yang lain, ada bola plastik transparan yang kembang kempis juga memenuhi ruangan serasa mau menekan ruang itu hingga meledak. Terdapat juga bongkahan sampah plastik yang telah tertimbun dalam tanah disajikan dalam kotak kaca. Karya ini cukup unik karena plastik yang telah menjadi sampah dan tertimbun itu sebelumnya berfungsi sebagai kemasan, kini justru mereka kemas kembali dalam kotak kaca berpustek sebagaimana halnya karya patung. Kemasan yang dikemas kembali.
Selain itu ada juga sobekan jaring plastik yang didapat dari laut, pecahan kursi plastik, selang plastik, mobil-mainan yang mereka komposisikan pada dinding menbentuk teks “MYTH”. Plastik dalam persepsi mereka ternyata bukan hanya realitas material (bendawi) selayaknya sering dilihat, dalam realitas kini plastik menurut mereka telah menjadi mitos. Mitos tentang berbagai hal, tentang kebersihan (hygienist), mitos tentang sensasi sebuah produk (image branding). Mitos tentang kehancuran alam dan bumi karena sampah plastik yang sudah menjadi teman hidup manusia, diolah dari bahan alam (tambang) kini justru menjadi ancaman serius bagi alam dan ekosistem kehidupan di bumi. Plastik sebuah keajabian dan sekaligus petaka.
Setidaknya itulah persepsi yang penulis dapat rasakan dan sampaikan dari kehadiran plastik-plastik yang biasa dari karya G-five pada pameran ini. Karya-karya plastik tersebut, serasa mengajak untuk memikirkan kembali perihal apa yang terlihat biasa, mengingat kembali memori-memori yang berkaitan tentang media itu, merasakan kembali berbagai hal dan persoalan yang menyelimutinya. Bisa jadi karena sebuah fenomena terlihat biasa-biasa kita sering abai terhadapnya dan implikasinya dalam kehidupan dan juga kesadaran kita, seperti halnya fenomena plastik.
Rasanya G-five sangat sadar akan hal ini, sehingga membuat mereka memutuskan merepresentasikan realitas plastik secara biasa-biasa, sembari menyisipkan pesan di dalamnya. Berupa sebuah ajakan untuk memberi ruang pada kesadaran itu merefleksi persoalan-persoalan yang menyelimuti realitas kehidupan kita bersama the amazing thing yaitu plastik. Teman yang selalu mengiringi keseharian kita, mengemas berbagai hal yang kita konsumsi sehingga hygienist, dan menampung berbagai macam sampah yang kita hasilkan dan pada akhirnya ia sendiri menjadi sampah yang mengancam kita.
Sanggulan, Oktober 2013
* Penulis adalah peneliti Utama pada Gurat Institut, sebuah lembaga independen yang konsen meneliti Seni Rupa Bali. Menulis dalam buku Arie Smit a Living Legend tahun 2011, Salvation of the Soul Nyoman Erawan tahun 2012