BLACK BOX at DANES ART VERANDA ( 2012)
Dari Sepotong Senja di Pojok Warung: Menapak Wilayah ‘Spiritualitas’ G-Five
“A painter should begin every canvas with a wash of black, because all things in nature are dark except where exposed by the light...”
― Leonardo da Vinci
Dalam sepotong senja yang biasa, kami menikmati kopi hitam dan pisang goreng hangat di sebuah warung pinggir sawah di Junjungan, Ubud. Mentari jingga merangkak pelan menelusup daun-daun kelapa di kejauhan, hingga larut penuh dalam pelukan malam. Sebuah prosesi yang luar biasa. Sebuah transisi terang ke gelap. Cahaya-cahaya lampu rumah penduduk mulai memendar.
Kadek Ardika, Made Gede Putra, Wiguna Valasara, Legianta dan Upadana sedang melepas senja sembari berbagi cerita perihal pameran terbaru mereka ‘black box’. (Sebuah idiom yang mengacu pada mesin pencatat data rekaman sebuah pesawat terbang.) Ada apa dengan kotak hitam? Yang ternyata sosok ‘studio’ baru yang mereka ingin dirikan bersama, memboyong kasur, dipan, kompresor, celana jins belel, kuas dan segala artefak hidup mereka di Danes Art Veranda –tempat pameran dilangsungkan, termasuk foto pacar, inspirasi yg lain.
“Kali ini kami ingin tampil jujur dan ‘telanjang'. Tak ada rahasia diantara kita berdua. Jika studio selama ini adalah sebuah ruang di balik layar, kami ingin membuka pintu lebar-lebar, membawanya ke depan layar, mempersilahkan kawan, penikmat, masyarakat masuk, semua bisa sekedar mampir. Berada bersama kami. Tak berjarak. Berbagi secangkir kopi hangat barangkali?” Kadek Ardika menyampaikan hasratnya.
Alih-alih membawa karya jadi, mereka membawa alat-alat lukis dan benda-benda absurd. Sepertinya mereka tengah bosan memamerkan estetika dalam karya visual. Atau mereka sedang mencari sebentuk estetika yang lain? Kali ini mereka mengambil jalan belakang, menampilkan ‘ruang pribadi’ mereka. Apa gerangan yang ada di benak mereka. Apa gerangan yang ingin mereka bagikan? Ibarat sebuah rumah, sepertinya mereka mengajak kita ke dapur dan teras belakang.
“Atau apakah mereka sedang mulai menanjak wilayah berbeda, barangkali ‘spiritual’?” aku mencoba menerka. Melupakan estetika visual, memilih jalan ‘hitam’, menghilangkan semua atribut yang melekat pada diri. Menjadi sama rata datar. Ada tak ada. Tak Ada ada. Mencari celah, ruang, sudut untuk mendengar mencoba mendengar suara-suara ‘lain’. Suara-suara yang selama ini sangat dinantikan oleh seniman untuk menghasilkan karya-karya hebatnya? Kejujuran. Keberanian. Suara hati. Yang apakah itu hanya wilayah yang sangat pribadi, dekat sekali, sedekat diri sendiri? Sekali lagi, who knows?
Dalam pameran kali ini, seolah mereka berlima mengamini, kegelisahan dimulai saat bangun tidur di rumah. Lalu beranjak ke studio minum secangkir kopi atau sekedar air putih segelas. Menumpahkan semua imaji itu dalam karya. Rahasia-rahasia tentang mereka semua tersimpan dalam setiap jejak-jejak hari mereka bersama benda-benda yang memahami mereka bahkan lebih daripada karya jadi serupa lukisan yang siap dikoleksi.
Menutup senja, Legianta dan Valasara sambil tersenyum berkelakar, “Masuklah ke ruang gelap ini. Nanti kita berpesta lilin. Menyalakan cahaya masing-masing. Barangkali dapat melihat diri masing-masing ada di antara salah satu artefak-artefak itu, jawaban dari sebuah pilihan profesi? Seperti keberanian menjadi seniman. Tanpa seragam kerja klimis. Gaji bulanan. Semua berpulang kepada pemahaman masing-masing. Akan benda. Akan rasa. Akan pilihan.”
(Namun perlu diingatkan, laron di musim hujan, memilih bergerombol mencari cahaya lampu mengiranya jalan keluar dan mati terbakar! Bukannya lubang angin, menjadi mahluk bebas bermain bintang di langit gelap. Ingat, di langit paling gelap lah, bintang bersinar paling terang!)
Matahari terbenam. Senja purna. Masing-masing dari kami pulang, menghidupkan cahaya… Klik!
Pande Putu Setiawan
Sahabat G-five
“A painter should begin every canvas with a wash of black, because all things in nature are dark except where exposed by the light...”
― Leonardo da Vinci
Dalam sepotong senja yang biasa, kami menikmati kopi hitam dan pisang goreng hangat di sebuah warung pinggir sawah di Junjungan, Ubud. Mentari jingga merangkak pelan menelusup daun-daun kelapa di kejauhan, hingga larut penuh dalam pelukan malam. Sebuah prosesi yang luar biasa. Sebuah transisi terang ke gelap. Cahaya-cahaya lampu rumah penduduk mulai memendar.
Kadek Ardika, Made Gede Putra, Wiguna Valasara, Legianta dan Upadana sedang melepas senja sembari berbagi cerita perihal pameran terbaru mereka ‘black box’. (Sebuah idiom yang mengacu pada mesin pencatat data rekaman sebuah pesawat terbang.) Ada apa dengan kotak hitam? Yang ternyata sosok ‘studio’ baru yang mereka ingin dirikan bersama, memboyong kasur, dipan, kompresor, celana jins belel, kuas dan segala artefak hidup mereka di Danes Art Veranda –tempat pameran dilangsungkan, termasuk foto pacar, inspirasi yg lain.
“Kali ini kami ingin tampil jujur dan ‘telanjang'. Tak ada rahasia diantara kita berdua. Jika studio selama ini adalah sebuah ruang di balik layar, kami ingin membuka pintu lebar-lebar, membawanya ke depan layar, mempersilahkan kawan, penikmat, masyarakat masuk, semua bisa sekedar mampir. Berada bersama kami. Tak berjarak. Berbagi secangkir kopi hangat barangkali?” Kadek Ardika menyampaikan hasratnya.
Alih-alih membawa karya jadi, mereka membawa alat-alat lukis dan benda-benda absurd. Sepertinya mereka tengah bosan memamerkan estetika dalam karya visual. Atau mereka sedang mencari sebentuk estetika yang lain? Kali ini mereka mengambil jalan belakang, menampilkan ‘ruang pribadi’ mereka. Apa gerangan yang ada di benak mereka. Apa gerangan yang ingin mereka bagikan? Ibarat sebuah rumah, sepertinya mereka mengajak kita ke dapur dan teras belakang.
“Atau apakah mereka sedang mulai menanjak wilayah berbeda, barangkali ‘spiritual’?” aku mencoba menerka. Melupakan estetika visual, memilih jalan ‘hitam’, menghilangkan semua atribut yang melekat pada diri. Menjadi sama rata datar. Ada tak ada. Tak Ada ada. Mencari celah, ruang, sudut untuk mendengar mencoba mendengar suara-suara ‘lain’. Suara-suara yang selama ini sangat dinantikan oleh seniman untuk menghasilkan karya-karya hebatnya? Kejujuran. Keberanian. Suara hati. Yang apakah itu hanya wilayah yang sangat pribadi, dekat sekali, sedekat diri sendiri? Sekali lagi, who knows?
Dalam pameran kali ini, seolah mereka berlima mengamini, kegelisahan dimulai saat bangun tidur di rumah. Lalu beranjak ke studio minum secangkir kopi atau sekedar air putih segelas. Menumpahkan semua imaji itu dalam karya. Rahasia-rahasia tentang mereka semua tersimpan dalam setiap jejak-jejak hari mereka bersama benda-benda yang memahami mereka bahkan lebih daripada karya jadi serupa lukisan yang siap dikoleksi.
Menutup senja, Legianta dan Valasara sambil tersenyum berkelakar, “Masuklah ke ruang gelap ini. Nanti kita berpesta lilin. Menyalakan cahaya masing-masing. Barangkali dapat melihat diri masing-masing ada di antara salah satu artefak-artefak itu, jawaban dari sebuah pilihan profesi? Seperti keberanian menjadi seniman. Tanpa seragam kerja klimis. Gaji bulanan. Semua berpulang kepada pemahaman masing-masing. Akan benda. Akan rasa. Akan pilihan.”
(Namun perlu diingatkan, laron di musim hujan, memilih bergerombol mencari cahaya lampu mengiranya jalan keluar dan mati terbakar! Bukannya lubang angin, menjadi mahluk bebas bermain bintang di langit gelap. Ingat, di langit paling gelap lah, bintang bersinar paling terang!)
Matahari terbenam. Senja purna. Masing-masing dari kami pulang, menghidupkan cahaya… Klik!
Pande Putu Setiawan
Sahabat G-five